Mazhab Psikologi. Humanistik-Eksistensialisme-Fenomenologis

Mazhab Psikologi Humanistik Eksistensialisme Fenomenologis
Psikologi Humanistik Eksistensialisme Fenomenologis
Mazhab ini dipelopori oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York tahun 1908. Ia menempuh pendidikan keahliannya di Universitas Wiconsin, bahkan semua gelar yang diperolehnya diraih dari universitas tersebut, tempat ia meneliti tingkah laku kera. Selama 14 tahun (1937-1951) ia menjadi staf pengajar di Brooklyn College. Pada tahun 1951, Maslow pergi ke Universitas Brandeis di mana ia tinggal sampai tahun 1969, dan ia pun menjadi anggota tetap pada Laughlin Foundation di Menlo Park. 

Maslow dalam banyak tulisannya, khususnya Motivation and Personality (1954, edisi yang direvisi, 1970), Toward a Psychology of being (1968a), dan The Farther Reaches of Human Nature (1971) mendukung segi pandangan dinamis, holistik yang banyak kesamaannya dengan pandangan Goldstein dan Angyal, walaupun terdapat pula perbedaannya dengan teman-teman sekerjanya di Universitas Brandeis. Maslow tergolong dalam psikologi humanistik, yang disebutnya sebagai mazhab ketiga dalam psikologi Amerika, setelah behaviorisme dan psikoanalisis (Hall dan Lindzey, 1993b: 106).

Dalam penelitiannya, Maslow yang lebih menekankan pada hasil-hasil penelitian orang-orang sehat dan kreatif, tentunya berbeda dengan Goldstein dan Angyal yang meletakkan dasar pandangan mereka pada penelitian tentang orang-orang cedera otak dan gangguan jiwa. Karena itu, Maslow mencela psikologi mengingat konsepsinya yang pesimistik, negatif, dan terbatas tentang manusia. Ia berpendapat bahwa psikologi lebih banyak memikirkan kelemahan manusia daripada kekuatannya dan psikologi semata-mata meneliti dosa dan mengabaikan kebajikan. Selain itu, psikologi telah melihat hidup ini dari sudut individu yang berusaha mati-matian untuk menghindari perasaan sakit, bukan mengambil langkah-langkah aktif untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. 


Hampir tindak tepat kajian pada psikologi saat itu yang berbicara tentang kegirangan, kegembiraan, cinta, dan kesejahteraan yang sama tuntasnya sebagaimana ia berbicara tentang kesengsaraan, konflik, rasa malu, dan permusuhan (Hall dan Lindzey, 1993b: 107). Maslow yakin bahwa apabila para psikolog hanya mempelajari orang yang lumpuh, kerdil, dan neurotik maka mereka hanya menghasilkan suatu psikologi yang lumpuh pula. Di sini Maslow telah berusaha menyajikan sisi lain dari gambar yang lebih terang, lebih baik untuk memberikan suatu potret keseluruhan yang utuh.

Selain itu, dalam pernyataan selanjutnya tentang asumsi-asumsi yang diyakininya, Maslow memberikan komentar yang sangat penting: Kodrat batin tidaklah sekuat dan semahakuasa, dan tidak dapat salah seperti insting-insting binatang. Kodrat batin ini adalah lemah, lembut, serta halus dan mudah dikalahkan oleh kebiasaan, tekanan kebudayaan, dan sikap yang salah terhadapnya. Meskipun lemah, namun ia jarang hilang pada orang normal, mungkin juga tidak hilang pada orang sakit. Meskipun diingkari, namun ia tetap bertahan secara diam-diam dan selalu mendesak untuk aktualisasi (Maslow, 1968:4).

Dengan demikian, menurut Maslow bahwa kodrat manusia pada dasarnya adalah baik atau sekurang-kurangnya netral. Kodrat manusia tidak jahat, dan hal itu merupakan pandangan baru mengingat banyak teoretikus yang sebelumnya berpandangan bahwa beberapa insting adalah buruk atau antisosial yang harus dijinakkan melalui latihan-latihan pengendalian maupun sosialisasi (Hall dan Lindzey, 1993b: 109).

Selain itu, Maslow pun mengemukakan tentang teori motivasi manusia yang membedakan antara kebutuhan dasar (basic needs) dan metakebutuhan (metaneeds). Kebutuhan dasar meliputi rasa lapar, kasih sayang (afeksi), rasa aman, harga diri, dan sebagainya. Metakebutuhan meliputi keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya. Kebutuhan dasar disebabkan oleh kekurangan, sedangkan metakebutuhan untuk pertumbuhan.

Untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang lebih lengkap dan luas tentang manusia maka para psikolog harus pula mempelajari orang-orang yang telah merealisasikan potensi-potensi sepenuhnya. Hal itulah yang dilakukan Maslow, ia telah mengadakan penelitian yang intensif terhadap sekelompok orang yang dinilai sukses dalam mengaktualisasikan dirinya. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang telah berhasil mengukir sejarah dalam berbagai profesi karena kesuksesannya, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Penelitian terhadap tokoh legendaris yang sudah meninggal, di antaranya Abraham Lincoln, Thomas Jefferson, Walt Whitman, Thoreau, dan Beethoven. Sedangkan penelitian terhadap tokoh-tokoh yang masih hidup, di antaranya Eleanor Roosevelt dan A. Einstein yang diteliti secara klinis untuk menemukan sifat-sifat mana yang membedakan mereka dari orang-orang biasanya. Setelah diidentifikasi, ternyata ciri khas mereka antara lain:
1. Superior perception of reality
2. Increased acceptance of self, of others, and of nature
3. Increased spontaneity
4. Increase in probelem solving
5. Increased autonomy and resistance to enculturation
6. Increased detachment and desire for privacy
7. Greater freshness of appreciation, and richness of emotional reaction
8. Higher frequency of peak  experimences
9. Increased identification with the human species
10. Changed (the clinician wolud say, improved) interpersonal relations
11. More democratic character structure
12. Greatly changes in the value system
(Maslow, 1968: 26)

Selain itu, Maslow pun meneliti apa yang disebut pengalaman puncak (peak experiences). Bagi orang yang pernah mengalami atau memiliki pengalaman yang sangat indah dalam kehidupannya, merasa lebih terintegrasi, lebih merasa bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri mereka sendiri, lebih cepat dan mudah mencerap sesuatu, dan sebagainya (Maslow, 1968). Sumbangan yang khas dari Maslow, yakni terdapat sikap yang kritis terhadap ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mekanistik klasik, seperti yang dikemukakan dalam behaviorisme, tidak cocok untuk mempelajari seluruh pribadi anak didik. Ia menganjurkan suatu ilmu pengetahuan humanistik bukan sebagai alternatif, melainkan sebagai pelengkapnya. 


Ilmu pengetahuan humanistik semacam itu akan menggeluti pertanyaan tentang nilai, individualitas, kesadaran, tujuan, etika, dan jangkauan yang lebih tinggi dari kodrat manusia (Hall dan Lindzey, 1993b: 111). Di samping itu, dapat dikatakan bahwa teori organismik dengan semua kekurangannya telah berusaha meluruskan kesalahan yang dilakukan Rene Descartes. Teori organismik menegaskan dengan sungguh-sungguh bahwa organisme bukan sistem dwirangkap antara jiwa dan badan diasumsikan masing-masing memiliki motor penggeraknya sendiri, tetapi merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas banyak fungsi bagian-bagian. Dikarenakan mensosialisasikan dan memajukan konsepsi pokok ini, segi pandangan organismik patut mendapat penghargaan sebagaimana telah diperolehnya saat sekarang.

Selanjutnya mengenai Carl Rogers, seorang psikolog Amerika yang berpengaruh, di lahirkan tahun 1902 di Oak Park. Pada tahun keduanya di University of Winconsin, Rogers telah memutuskan untuk menjadi pendeta, kemudian ia menuntut ilmu di Union Theological Seminary, New York. Pada masa tersebut, berkat interaksinya dengan orang banyak membuatnya sadar bahwa ia tidak dapat membatasi dirinya pada bidang agama saja. Ia akhirnya masuk Teacher College di Columbia University sampai lulus pada tahun 1931. Di Columbia, ia menjadi banyak dipengaruhi oleh ide-ide John Dewey, Leta Hollingworth, dan William Kilpatrick (Thorne, 1992).

Pertama kali ia bekerja sebagai psikolog di Community Guidance Clinic di Rochester, New York. Di sana ia mendapat pengaruh ide-ide revisionis psikoanalis, seperti Otto Rank dan Jessica Taft. Rank sangat tidak setuju dengan ide atau pemikiran Freud tentang pikiran pengekangan diri (self-contained mind) yang dimotivasi oleh dorongan seksual dan agresif bawah sadar. Walaupun ia diasingkan oleh para pengikut Freud yang loyal karena menolak ide bahwa permasalahan Oedipal adalah prinsip dasar psikologis, ia adalah teoretikus hubungan objek pertama (Palmer, 2003: 92). Baginya, hubungan primer adalah dengan ibu dan kehidupan emosional individu bersumber dari hubungan ini. Hubungan ini lebih bersifat kasih sayang (afection) daripada pengetahuan intelektual yang memberikan kesempatan untuk mempelajari dan memahami. Oleh karena itu, bukan interpretasi otoritas terapis yang dapat menyembuhkan klien, tetapi karena empatinya. Pemahaman dan penerimaan terapis sangat penting dalam pembentukan harga diri (self-estem). Melalui terapi seperti ini hubungan yang menghambat perkembangan dapat diremobilisasi. Ia menyamakan pertumbuhan dengan perubahan dalam diri.

Walaupun Rogers sangat banyak dipengaruhi Rank, tetapi teorinya tidaklah serumit Rank dalam perubahan diri secara terus-menerus yang berkembang dan tumbuh menuju individualitas dalam konteks hubungan penerimaan yang empatik. Perlu diketahui bahwa karier Rank sendiri dan pengusirannya dari komunitas psikoanalitik yang didominasi Freudian direfleksikan dalam penolakan Rogers terhadap psikologi Freudian dan keterbukaannya yang lebih besar pada kerangkan interpretatif klien. Hal itu berbeda dengan terapis lainnya yang bahwa pengungkapan klien (client-talk) sebagai alat untuk memunculkan pemahaman terapis, Rogers memahami klien sebagai kunci utama dalam proses terapeutik. Dengan demikian, fungsi seorang terapis adalah lebih mendekati sebagai bidan daripada ilmuwan (Palmer, 2003: 93).

Namun, tidak semua karya Rogers bersifat baru. Terdapat pula karya ilmiah yang tradisional, terutama dalam merintis pencatatan dan transkripsi kasus-kasus terapeutik aktual untuk penelitian dan publikasi. Salah satu kontribusi pentingnya adalah pembentukan dasar bagi penelitian empiris yang memungkinkannya meneliti interaksi verbal klien. Kemudian, Rogers memperluas idenya tentang terapi individu pada institusi pendidikan serta organisasi-organisasi lain, seperti organisasi bisnis dan ia menerapkan idenya pada konflik antarkelompok.

Selama sepuluh tahun Rogers menggeluti bidang sebagai psikolog di Rochester, setelah itu ia menjadi profesor di Ohio State University pada tahun 1940 dan menetap di sana selama empat tahun sebelum ia diundang ke University of Chicago. Ketika di Ohio, ia menulis Counselling and Psychoteraphy, sebuah buku yang memaparkan pendekatannya pada situasi terapetik. Dalam buku tersebut, ia menempatkan perasaan senang (feeling over content) sebagai inti kegiatan terapeutik. Kemudian sikap tanggap dan penerimaan terapis terhadap perasaan itu menjadi komponen utama dalam teorinya. Sedangkan ketika ia di Chicago, Rogers menjadi anggota jurusan psikologi dan muali bekerja di pusat konseling universitas. Ia menetap di sana dari tahun 1957, dan selama masa itu diterbitkan Client-Centered Theraphy yang merupakan buku yang termasuk banyak di baca. Buku tersebut menguraikan kondisi-kondisi yang diperlukan dalam hubungan konseling dengan menekankan penghargaan terhadap kemampuan klien untuk memecahkan sendiri masalahnya dalam kerangka empati dan penerimaan yang diberikan konselor.

Selanjutnya, Rogers pindah ke University of Wiconsin, ia berharap dapat menerapkan penemuannya pada penderita skizoprenia. Meskipun ia gagal dalam usahanya tersebut, namun ia menulis buku yang membuatnya terkenal dan berpengaruh, yakni On Becoming a Person. Buku tersebut mengembangkan lebih lanjut tentang kepercayaannya terhadap sentralitas kreativitas dan pertumbuhan pribadi. Ia menekankan kualitas pengalaman dari kehidupan yang utuh (being fully alive) dan menjadi manusia seutuhnya yang hidup pada saat ini. Rogers memang sangat produktif, tetapi sekaligus banyak menimbulkan keguncangan dalam kehidupan akademiknya karena pendapatnya yang berbeda dan bersikeras. Ia baru meninggalkan dunia akademiknya pada tahun 1963 setelah memilih bekerja menjadi staf di Behaviral Science Institute yang baru di La Jola, California, dan ia meninggal pada tahun 1987.

Metode Rogers yang memiliki kekhasan yang berpusat pada klien (client centered) dan terapinya yang berpusat pada orang (person centered therapy), nama metode tersebut segera menjadi terkenal. Namun, tidak sedikit para ahli lainnya menyebutnya sebagai Terapi Rogerian (Palmer, 2003: 94). Model terapi ini merupakan model yang berbeda dengan psikoanalisis maupun behaviorisme. Dalam metode psikoanalisis terdapat dikotomis peran, klien memiliki masalah dan terapis memiliki keahlian untuk mengobatinya. Begitu pun dalam behaviorisme karena pada prinsipnya menolak relevansi epistemologis pemahaman klien, pencerahan yang mencerminkan pemahaman terapis, serta perubahan akan terjadi dengan memprogramkan perubahan dari luar. Di sini Rogers menolak dan bersikukuh bahwa terapis yang mendengarkan klien memungkinkan klien untuk merefleksikan kembali pemahamannya pada dirinya sendiri. Dengan cara ini, terapis bertindak sebagai cermin yang memungkinkan klien memandang caranya memahami diri sendiri, kemudian masuk ke dalam penilaian reflektif atas pemahaman diri ini. Dengan demikian, pendekatan klinis fenomenologis Rogers menawarkan sebuah paradigma baru, bukan paradigma behavioris maupun psikoanalitis. Di sini klien ataupun individu menempatkan diri atas dorongan bukan bawah sadar, tetapi atas keinginan (disire) dan pemahaman diri klien.

Kemudian, ide Rogers tentang pendidikan sesuai dengan sisi yang lebih individualistik dari pendidikan yang progresif serta perkembangan yang sejajar, seperti gerakan klarifikasi nilai, pendidikan gaya summerhill, ruangan kelas terbuka, dan penekanan pada peningkatan harga diri. Semua gerakan ini berkembang dari pertentangan performatif yang dirasakan antara tujuan dan praktik pendidikan. Meskipun tujuan pendidikan adalah melahirkan sosok yang mampu melakukan aktualisasi diri secara bebas, praktik pendidikan justru menegaskan ketergantungan anak didik pada guru dan menempatkan definisi dan evaluasi anak di bawah kontrol guru. Oleh sebab itu, guru akan menentukan kapan anak didik telah mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian, ide di balik pandangan Rogerian dan bentuk-bentuk pedagogis serupa adalah menyelesaikan kontradiksi tersebut dengan menempatkan anak didik di bawah kontrol perkembangan mereka sendiri.

Bentuk pendidikan semacam ini di samping membawa harapan baru, tidak lepas dari sasaran kritik yang semakin meningkat, baik dari aliran pendidikan konservatif yang memandangnya terlalu terpusat pada anak maupun dari aliran pendidikan radikal yang memandangnya terlalu individualistis dan melupakan penindasan struktural. Mengingat Rogers lebih terkait dengan psikologi dan terapi daripada pembelajaran di kelas, dan ide-ide sebelumnya jarang diserang oleh kritisi pendidikan. Namun, serangan terhadap klarifikasi nilai dan kritik yang berkenaan dengan harga diri, pada akhirnya adalah kritik terhadap metode Rogerian (Hirst, 1996: 1003). Ironisnya, kritik pendidikan yang sering berasal dari kritik konservatif terhadap pendidikan progresif sama dengan kritik terhadap proses terapeutis yang bersumber dari kritik Marxis, seperti Christopher Lasch. Keduanya menolak ide bahwa terapis atau guru hanya berperan sebagai reseptor pasif untuk pemahaman dan nilai anak. Kelompok konservatif menegaskan benar dan salah, baik dan jahat, memiliki status objektif yang melampaui pemahaman anak dan bahwa terapis serta guru memiliki tanggung jawab untuk mendukung yang benar dan yang baik. Kelompok kiri khawatir bahwa fokus yang tertutup terhadap individu akan memperkecil kesempatan untuk tindakan yang lebih kolektif.
 


Kritik-kritik tersebut jelas bermanfaat, walaupun tidak sepenuhnya benar. Kebermanfaatan kritik tersebut mengingat klien maupun murid tidak memiliki seluruh sumber daya, seperti informasi, keterampilan, pemahaman konsekuensial, pandangan ke depan, kesadaran historis, kerangka alternatif, dan lain-lain untuk sampai pada resolusi yang memadai bagi masalah moral ataupun pribadi (Palmer, 2003: 96). Bukankah individu itu sendiri tidak cukup ketika sekumpulan kepentingan kolektif perlu diungkapkan? Terapis maupun pendidik tidak hanya memantulkan kembali ungkapan-ungkapan klien, sebagaimana dilakukan burung beo yang sangat pintar. Terapis memilih ungkapan-ungkapan mana yang akan dipantulkan, mengubah nada suara (dari intonasi seru sampai tanya), memberikan konteks tambahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan, dan seterusnya.

Begitu pun dengan guru yang terlibat dalam klarifikasi nilai. Guru menyampaikan sebagian nilai lebih banyak daripada nilai lainnya dan mengajukan sebagian pertanyaan yang lebih sulit daripada pertanyaan lainnya. Kemudian, klarifikasi nilai berlangsung dalam suatu lingkaran di mana nilai yang baik maupun yang buruk direfleksikan melalui norma dan praktik guru, pengelola, dan anak didik yang dilembagakan. Namun, perlu diakui bahwa salah satu sudut pandang yang lebih simpatik terhadap teori Rogerian, ia berhasil mengetahui bahwa kesabaran guru atau terapis membutuhkan kecenderungan etis yang sangat kuat dalam membantu subjek mengembangkan keterampilannya untuk berefleksi dan merevisi nilai-nilai yang dimilikinya. Para profesional yang kurang disiplin atau yang bekerja dalam konteks lain mungkin menentukan nilai mereka sendiri dalam situasi tersebut. Kritik yang lebih simpatik mungkin pula memahami adanya perbedaan antara kepercayaan diri berlebihan (over-confidence) dengan harga diri. Kepercayaan diri berlebihan membuat subjek melebih-lebihkan keterampilannya dalam menyelesaikan masalah. Sementara harga diri memungkinkan subjek mengembangkan rasa percaya diri yang diperlukan untuk mempelajari keterampilan yang akan dibutuhkan untuk memecahkan masalah para pengkritik sering mencampuradukkan keduanya (Hirst, 1996: 104).


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Bumi Aksara. Jakarta


Download


Baca Juga
1. Mazhab Psikologi. Psikologi Kognitif 
2. Mazhab Psikologi. Psikologi Eksperimental dan Klasik
3. Mazhab Psikologi. Psikologi Psikoanalisis
4. Mazhab Psikologi. Behaviorisme
5. Mazhab Psikologi. Psikologi Gestalt
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Mazhab Psikologi. Humanistik-Eksistensialisme-Fenomenologis"