Hans Eysenck

Biografi Hans Eysenck
Hans Eysenck
Biografi Psikolog
Hans Jurgen Eysenck (1916-1997) adalah seorang psikolog kelahiran Jerman. Akan tetapi, ia menghabiskan sebagian besar karier profesionalnya di Inggris. Meskipun menekuni berbagai bidang, ia lebih dikenal terutama berkat karyanya dalam psikologi kepribadian dan kecerdasan. Eysenck boleh jadi merupakan psikolog paling produktif dalam sejarah. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis sekitar 1.600 artikel jurnal serta menerbitkan lebih dari 80 buku. Maka, tidak heran apabila Eysenck termasuk salah satu psikolog yang karya-karyanya sangat sering dikutip di dalam jurnal-jurnal ilmiah. Eysenck sendiri juga tercatat sebagai pendiri jurnal psikologi Personality and Individual Differences.

Eysenck lahir di Berlin, Jerman, pada 4 Maret 1916. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan suami istri yang kehidupannya terbilang dramatis. Ibunya, Ruth Werner, adalah seorang artis. Sedangkan ayahnya bernama Anton Eduard Eysenck adalah seorang komedian, penyanyi, dan aktor yang mendapat julukan pria tertampan di Laut Baltik. Berkaitan dengan orang tuanya, Eysenck pernah berkata, Saya jarang bertemu dengan orang tua saya. Mereka bercerai saat saya baru berumur empat tahun. Mereka hanya mempunyai sedikit perasaan terhadap saya.

Setelah perceraian orang tuanya, Eysenck tinggal dengan nenek dari pihak ibunya. Nenek Eysenck dulunya adalah seorang artis opera yang mempunyai karier cukup cemerlang. Namun, kiprah sang nenek terhenti secara tiba-tiba akibat kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Eysenck mendeskripsikan neneknya sebagai seseorang yang tidak egois, sangat peduli, berjiwa altruistis, serta secara keseluruhan terlalu baik untuk dunia ini.

Sang nenek menyebut dirinya sebagai penganut Katolik yang taat. Namun, tidak satu pun anggota keluarga Eysenck yang tergolong religius. Maka, tak heran jika Eysenck tumbuh tanpa komitmen religius formal. Baik orang tua maupun sang nenek tidak menerapkan standar kedisiplinan yang kuat terhadap perilaku Eysenck. Mereka tidak membatasi gerak Eysenck, bahkan bersikap permisif.

Eysenck menderita depresi besar—sebagaimana yang dirasakan banyak warga Jerman—setelah Perang Dunia I akibat besarnya inflasi, pengangguran massal, serta sulitnya mendapatkan makanan. Masa depan Eysenck kian redup ketika Adolf Hitler naik ke puncak kekuasaan Jerman. Pada awalnya, Eysenck tertarik untuk mengambil kuliah jurusan fisika di Universitas Berlin. Hanya saja, ia diharuskan bergabung dengan polisi rahasia Nazi. Hal tersebut membuat Eysenck muak sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Jerman.

Pada usia 18 tahun, Eysenck meninggalkan Jerman yang dikuasai rezim tirani Nazi untuk kemudian menetap di Inggris. Ia mencoba masuk ke Universitas London. Setahun sebelumnya, Eysenck terlebih dahulu belajar di sebuah sekolah bisnis. Agar dapat diterima di University of London, ia harus lulus ujian masuk. Setelah lulus, kemudian ia hendak mengambil jurusan fisika. Akan tetapi, ia diberitahukan telah salah memilih subjek dalam ujian masuk sehingga tidak dapat mengambil kurikulum fisika. Karena enggan menunggu setahun berikutnya untuk masuk jurusan fisika, ia pun menanyakan subjek ilmiah lain yang dapat diikuti sesuai dengan kualifikasinya. Ia pun akhirnya diizinkan mengambil jurusan psikologi. Artinya, Eysenck sebenarnya menjadi psikolog hanya karena faktor kebetulan.

Eysenck menerima gelar sarjana dari University of London pada tahun 1938. Setelah itu, ia menikahi Margaret Davies, seorang warga negara Kanada yang merupakan sarjana matematika. Sembari menjalani kehidupan keluarga, Eysenck melanjutkan studinya di bangku kuliah. Pada tahun 1940, ia berhasil mendapatkan gelar Ph.D. dari University College of London dengan promotor Prof. Sir Cyriil Burt, yakni seseorang yang kelak menjadi rekan kerja Eysenck sepanjang hidupnya.

Pada momen yang hampir bersamaan, ketika itu Inggris dan kebanyakan negara-negara Eropa sedang terlibat dalam Perang Dunia II. Sebagai warga negara Jerman, ia dianggap musuh sehingga tidak diperbolehkan masuk angkatan Royal Air Force ataupun cabang lain dalam militer. Akhirnya, tanpa terlebih dahulu berlatih psikiatri atau psikologi klinis, ia kemudian bekerja di Mill Hill Hospital. Ia ditugaskan merawat pasien yang menderita beragam gejala psikologis, termasuk kecemasan, depresi, serta histeria.

Setelah perang, Eysenck diangkat menjadi direktur departemen psikologi di Maudsley Hospital. Ia kemudian mengajar psikologi di Universitas London. Pada tahun 1949, ia pergi ke kawasan Amerika Utara untuk menguji program-program psikologi klinis. Hal itu didasari gagasannya untuk membangun profesi psikologi klinis di Inggris. Ia mendapatkan jabatan profesor tamu di University of Pennsylvania selama periode 1949-1950. Namun demikian, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkeliling Amerika Serikat dan Kanada untuk melihat program-program psikologi klinis yang kemudian dianggapnya sama sekali tidak adekuat dan jauh dari ilmiah.

Karena kesibukannya, hubungan Eysenck dengan istrinya mulai renggang. Situasi kian pelik karena Eysenck berkolega dengan Sybil Rostal, seorang psikolog kuantitatif selama melakukan penelitian di Amerika. Saat kembali ke Inggris, Eysenck bercerai dengan istri pertamanya (Margaret Davies) dan kemudian menikahi Sybil. Selain menjadi pasangan suami istri, Eysenck dan Sybil juga aktif menulis dalam beberapa terbitan. Pernikahan mereka membuahkan tiga orang anak laki-laki dan satu perempuan.

Pada tahun 1983, Eysenck pensiun dari Institute of Psychiatry, King College London, serta Maudsley and Bethirhrm Royal Hospital. Ia kemudian terus menjadi profesor di University of London hingga kematiannya. Ia meninggal akibat penyakit kanker pada 4 September 1997. Pasca kematiannya, orang-orang mengenang Eysenck sebagai kontributor utama teori ilmiah modern tentang kepribadian sekaligus guru yang brilian.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Irawan, Eka Nova. 2015. Pemikiran Tokoh-tokoh Psikologi; dari Klasik sampai Modern. IrcisoD. Yogyakarta


Download

Baca Juga
1. Hans Eysenck. Teori Kepribadian
2. Hans Eysenck. Psikopatologi
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Hans Eysenck"