Augustinus. Menyatunya Nilai Objektif dan Subjektif Tertinggi

Menyatunya Nilai Objektif dan Subjektif Tertinggi Augustinus
Augustinus
Allah merupakan kebahagiaan manusia dari dua sudut, secara objektif dan secara subjetif. Secara objektif Allah adalah Nilai Tertinggi. Tak ada yang baik kecuali karena kaitannya dengan Allah. Apa pun yang baik mendapat kebaikannya dari Allah, apa pun yang bernilai, bernilai karena partisipasi dalam nilai mutlak, yaitu Allah. Allah adalah prinsip terakhir segala nilai moral.

Namun, karena manusia diciptakan Allah, hakikat manusia senantiasa sudah mengarah kepada Allah. Allah adalah rahasia hakikat manusia. Karena itu, menurut Augustinus manusia secara batin selalu sudah tertarik kepada Allah. Itu juga berarti bahwa ia tertarik kepada yang baik. Ada banyak hal baik bagi manusia. Manusia malah dapat sesat dengan mengejar segala nilai itu kalau ia tidak menempatkannya ke dalam perspektif nilai mutlak. Namun, nilai yang paling dalam bagi manusia adalah sumber eksistensinya, yaitu Allah. Jadi, manusia sedalam-dalamnya tertarik kepada Allah.

Plato juga sudah merasakan ketertarikan itu. Namun, ia masih memahaminya secara intelektual belaka, sebagai ketertarikan jiwa manusia kepada idea Yang Baik. Augustinus tahu bahwa dengan daya pikir kita tidak dapat betul-betul sampai kepada Allah. Kita hanya dapat sampai kepada Allah dengan dorongan hati kita, yaitu dengan kehendak. Kehendak itu adalah Cinta. Di dunia ini kita tidak dapat melihat Allah, tetapi kita sudah dapat mencintai-Nya. Bahkan, menurut Augustinus segala dorongan hati yang sering ke mana-mana sebenarnya merupakan gerakan ke arah Allah, tanpa kita menyadarinya. Allah berada di lubuk hati manusia. Segala kerinduan, kegelisahan dan hasrat hati sebenarnya hanya mengungkapkan fakta yang paling mendasar: bahwa hati kita tertarik oleh nilai tertinggi yang ada, Allah. Dalam Confessiones kita menemukan kata indah Augustinus: Engkau menciptakan kami bagi Engkau, ya Allah, dan hati kami resah sampai beristirahat dalam diri-Mu.

Kelihatan bahwa Immanuel Kant salah paham betul dalam kritiknya terhadap etika teonom, seakan-akan taat kepada hukum moral demi Allah berarti bahwa manusia tunduk terhadap hukum di luarnya, seakan-akan hanya karena Allah memiliki suatu wewenang yuridis dari luar. Taat pada hukum moral demi Allah berarti mengikuti dorongan hati kita sendiri yang terdalam, memperkuat identitas kita karena di lubuk hati kita itulah tempat Allah menarik kita. Allah adalah pencipta kita. Apa pun yang ada pada kita, kita terima dari Dia. Karena itu, kembali kepada Allah tidak berarti ke luar dari kita sendiri, tetapi justru berarti keluar dari segala keterasingan, kembali ke otentisitas kita yang sesungguhnya. Begitu pula, kelirulah Sartre yang menganggap Allah sebagai ancaman keutuhan manusia. Kita justru utuh apabila mencapai identitas yang kita terima dari Sang Pencipta.

Kebahagiaan yang sebenarnya justru terletak dalam menyatunya nilai objektif dan nilai subjektif itu, dalam menyatunya dorongan hati, yaitu Cinta Kasih, dengan sumber dan tujuan objektifnya, yaitu Allah. Dalam Allah, tujuan kita, keberhasilan hidup menyatu dengan idea Yang Baik, pencapaian identitas kita sepenuhnya dengan nilai tertinggi objektif. Makin kuat hati orang diresapi oleh cinta kepada Allah, makin lurus dan betul arah kehidupannya.

Karena itu, tujuan hidup manusia adalah persatuan dengan Allah. Persatuan itulah kebahagiaan. Augustinus mendefinisikan kebahagiaan sebagai Ketenteraman. Manusia selalu merindukan ketenteraman. Augustinus memperlihatkan bahwa setiap orang akhirnya mencari ketenteraman, bahkan di perampok dan si penjahat. Kalaupun mereka mengganggu ketenteraman orang lain, mereka sendiri ingin memilikinya. Ketenteraman yang sempurna tidak mungkin tercapai dalam hidup di dunia ini, melainkan hanya dalam persatuan dengan Allah. Namun, melalui hidup yang bermoralitas, manusia dalam hidup ini pun dalam arti tertentu sudah dapat menikmati kebahagiaan, yaitu keutamaan. Keutamaan membuat kita mampu mempergunakan hal-hal yang baik secara tepat, dan juga mampu memakai pengalaman-pengalaman yang berat atau buruk, seperti pelepasan terhadap apa yang kita cintai atau penderitaan, untuk memurnikan diri dan lebih mampu menuju ke tujuan abadi.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. Augustinus. Sekilas Biografi
2. Augustinus. Kebahagiaan dan Transendensi
3. Augustinus. Hukum Ilahi dan Dinamika Batin Manusia
4. Augustinus. Tekanan pada Kehendak
5. Augustinus. Keutamaan dan Rahmat
6. Augustinus. Komunitas Allah, Komunitas Dunia
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Augustinus. Menyatunya Nilai Objektif dan Subjektif Tertinggi"