Augustinus. Tekanan pada Kehendak

Tekanan pada Kehendak Augustinus
Augustinus
Augustinus sangat menekankan arti kehendak; dalam hal ini, ia sangat berbeda dengan intelektualisme etika Yunani. Hukum ilahi tidak berjalan seakan-akan dengan otomatis. Kehendak manusia bebas. Karena itu, manusia dapat menaati hukum ilahi, tetapi juga dapat tidak menaatinya. Bahwa manusia mempunyai kehendak yang bebas berarti bahwa manusia dapat memilih antara yang baik dan yang buruk. Yang menentukan kualitas moral seseorang adalah kehendak atau cinta, bukan tindakan lahiriah atau hasil lahiriah tindakannya. Jadi, sikap hati yang menentukan. Di sini untuk pertama kali diungkapkan dengan jelas apa yang kemudian menjadi pengandaian dasar Immanuel Kant, yaitu bahwa inti moralitas terletak dalam sikap hati seseorang, bukan dalam tindakan lahiriah; hal ini akan menjadi titik tolak Kant dalam merumuskan imperatif kategorisnya.

Dengan demikian, Augustinus menolak segala Etika Sukses. Etika sukses adalah etika yang di dalamnya nilai moral tindakan mau diukur dari hasil yang tercapai dengannya. Tentu saja, sejauh tergantung dari kita, kita harus berusaha sekuat tenaga agar maksud baik kita menjadi kenyataan. Apabila kita puas dengan maksud baik saja, maksud kita sebenarnya tidak baik karena suatu maksud hanyalah sungguhan apabila kita mau merealisasikannya, apabila kita mau mewujudkannya dalam tindakan nyata. Tanpa usaha untuk bertindak juga tidak ada kehendak. Namun, sebuah kehendak berhasil dilaksanakan atau tidak tergantung juga pada faktor-faktor di luar kemampuan kita. Apabila suatu kehendak baik tidak terlaksana karena ada faktor luar yang menggagalkannya, hal itu secara moral tanpa arti. Kehendak baik itu tetap diakui.

Begitu pula, kehendak dan bukan tindakan lahiriah menentukan nilai moral manusia. Sama seperti di atas, suatu kehendak yang sungguh-sungguh dengan sendirinya mencari realisasi dalam tindakan yang sesuai. Menghendaki tanpa bertindak sesuai dengan kehendak itu tidak mungkin. Pada umumnya kita boleh saja menarik kesimpulan bahwa kalau tidak ada tindakan, kehendak pun tidak ada. Namun, keduanya tetap tidak identik. Tindakan nyata bisa terhalang oleh faktor luar. Cinta yang sungguh-sungguh bisa saja tidak kesampaian karena kita salah paham dan melakukan yang keliru. Menurut Augustinus, Allah melihat hati orang, dan hati orang itulah yang menentukan. Yang menentukan adalah sikap dan maksud batin. Paham itu—yang sejak Kant disebut Gesinnungsethik, etika sikap hati—menolak suatu moralitas yang secara eksklusif mementingkan pemenuhan lahiriah hukum. Bukan berarti segi lahiriah boleh dilalaikan. Namun, nilai moral manusia ditentukan oleh sikap hati, oleh kehendaknya.

Kehendak sendiri perlu dilihat dalam hubungannya dengan keterarahan batin yang lebih mendalam. Mengambil sikap tertentu bukan sesuatu yang sama sekali kebetulan dan unik, melainkan tidak mungkin lepas dari arah atau arus bawah batin manusia. Dari hati yang baik akan keluar perbuatan yang baik. Semakin hati dengan cinta terarah kepada Allah, semakin segala perbuatan dengan sendirinya akan mencerminkan keterarahan hati itu. Karena itu, Augustinus berani mengatakan, Cintailah, dan lakukan apa saja yang kau kehendaki! Maksudnya, orang yang hatinya dalam cinta sudah terorientasi seluruhnya pada Nilai Tertinggi, Allah, tidak perlu lagi bertanya apa sesuatu itu boleh atau tidak, sesuai atau tidak dengan huruf hukum; ia selalu akan tahu dan merasakan perbuatan mana baik dan benar, mana yang sesuai dengan hukum Allah. Cinta kasih membebaskan dari hukum.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. Augustinus. Sekilas Biografi
2. Augustinus. Kebahagiaan dan Transendensi
3. Augustinus. Menyatunya Nilai Objektif dan Subjektif Tertinggi
4. Augustinus. Hukum Ilahi dan Dinamika Batin Manusia
5. Augustinus. Keutamaan dan Rahmat
6. Augustinus. Komunitas Allah, Komunitas Dunia
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Augustinus. Tekanan pada Kehendak"